Buletin Gaul Islam |
15 Juni 2008 - 17:05 |
Asmara Aktivis Rohis |
gaulislam edisi 031/tahun I (20 Jumadil Awwal 1429 H/26 Mei 2008) |
Anak Rohis juga manusia. Punya hati, punya rasa. Juga, tentu punya rasa suka dan bisa jatuh cinta. Huhuy! Justru kalo anak rohis nggak pernah bisa merasa jatuh cinta adalah kagak normal, atau jangan-jangan bukan makhluk hidup. Wacks! Ya iyalah, kalo masih merasa manusia sih ya pasti punya rasa cinta. Hewan aja punya kok. Selama masih hidup. Tapi tentu manusia punya aturan dalam mengekspresikan cintanya. Ada syariat yang harus ditaati. Kalo hewan nggak ada syariat yang harus mereka taati. Bener lho. Kalo manusia sih untuk mencintai manusia lainnya harus jelas aturan mainnya. Kalo hewan? Nggak ada. Emang pernah dengar ada kambing jantan yang tertarik dengan kambing betina terus mereka mengikatnya dengan khitbah untuk seterusnya menikah dan diramein dengan pesta ngundang tamu dan diiringi hiburan nasyid? Hihihi.. film kartun kaleee! Bro en Sis, karena aktivis Rohis (kerohanian Islam) juga punya rasa suka dan rasa cinta, pasti mereka pernah dong ngalamin yang namanya DDA alias debar-debar asmara. Meskipun dalam mengekspresikannya agak sedikit beda ama remaja umumnya. Kalo remaja umumnya langsung kenalan, terus janjian dan jadian deh dalam ikatan bernama pacaran. Kalo anak Rohis? Kalo untuk pacaran secara terang-terangan kayaknya jarang ada. Mungkin mereka malu. Tapi kalo yang dikamuflase dengan istilah “pacaran islami” kayaknya banyak deh. Ini juga sering dianggap sebagai pembenaran atas aktivitas yang dilakoninya. Halah! Ngaji doyan, pacaran kuat Oya, gaya pacaran aktivis Rohis agak lain. Awalnya sih ukhuwah, tapi kebablasan jadi demenen. Mulanya cuma bergaul sesama pengurus pengajian, lama-lama muncul benih-benih cinta. Bersemi dalam dada dan melahirkan kerinduan. Huhuy! Ati-ati, bisa gaswat! Sobat muda muslim, jangan heran or jangan kaget, sebab siapa pun orangnya, termasuk anak ngaji, bisa tumbuh dalam dirinya rasa cinta, rasa sayang, juga pengen memiliki begitu ngelihat lawan jenisnya. Ser-seran aja dalam dada kalo kebetulan bertemu di masjid or di perpustakaan. Bergetaran dalam jiwa (apalagi kalo ditambah naik bajaj, dijamin vibrasinya lebih kuat tuh! Halah!). Pokoknya, seperti ada yang bergejolak dalam hati. Tapi sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata (cieee…). Pokoknya, bikin jantung berdetak dua kali lebih kenceng deh. But, itu wajar kok. Namanya juga manusia. Suer. Malah boleh jadi, kalo iman kamu nggak kuat-kuat amat, bisa-bisa kecemplung melakoni aktivitas pacaran layaknya mereka yang masih awam dengan ajaran Islam. Maklumlah sobat, kalo nafsu udah jadi jenderal, akal sehat jadi keroconya. Celaka dua belas euy! Saat cinta mulai bersemi Hati-hati lho, anak ngaji juga bisa tergoda saat cinta mulai bersemi. Ehm..ehm.. (ditambah pura-pura batuk nih) kamu jadi sering tampil klimis kalo pergi ke sekolah or kampus. Dandanan jadi rapi jali. Pendek kata, pengen tampil beda dan sempurna di hadapan sang pujaan hati. Sering terjadi lho. Cinta lokasi sesama aktivis pengajian. Wajar euy, sebab cinta itu naluriah. Udah built-in saat manusia diciptakan oleh Allah Swt. Dalam salah satu firmanNya disebutkan:”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak,” (QS Ali Imraan [3]:14) Cuma masalahnya, saat cinta mulai bersemi, jarang ada yang bisa bertahan dari godaannya yang kadang menggelapkan mata dan hati seseorang. Jangan heran dong kalo sampe ada yang nekat pacaran. Wah, aktivis pengajian kok pacaran? Malu atuh! Kalo udah gitu, bisa ngerusak predikat tuh. Bener. Sebab, serangan kepada orang yang dianggap tahu dan paham agama lebih kenceng. Jadi kalo ada aktivis pengajian (anak Rohis) yang pacaran, orang di sekililing mereka dengan sengit mengolok-olok, mencemooh, bahkan mencibir sinis. Kejam juga ya? Bandingkan dengan orang yang belum paham agama, atau nggak aktif di organisasi kerohanian Islam, biasa-biasa aja tuh. Sobat, inilah semacam ‘hukuman sosial’ yang kudu ditanggung seseorang yang udah dipandang ngerti. Padahal, sama aja dosanya. Tapi, seolah lebih besar kalo itu dilakukan oleh aktivis pengajian. Gawat! Jadi hati-hati deh, jangan sampe kamu kebablasan jadi demenan, padahal kamu niat awalnya mau menjalin ukhuwah sesama aktivis Rohis. Jadi, jelas emang kudu ada aturan mainnya. Nggak sembarangan bergaul, lho. Jangan main api dong! Oke deh, supaya gaul kamu sesama aktivis pengajian selamat di dunia dan di akhirat, ada beberapa poin yang kudu diperhatikan. Jangan sampe ukhuwah malah berubah jadi pacaran. Pertama, kurangi frekuensi pertemuan yang nggak perlu. Memang, kalau sudah cinta, berpisah sejam serasa 60 menit, eh maksudnya sewindu (lama amat! Hiperbolis nih!). Bawaannya pengen ketemu melulu. Ini nggak sehat, Bro. Perbuatan seperti itu bukannya meredam gejolak, tapi akan memperparah suasana hati kita. Pikiran dan konsentrasi kita malah makin nggak karuan. Selain itu bukan mustahil kalo kebaikan yang kita kerjakan jadi tidak ikhlas karena Allah. Misal, karena si doi jadi moderator di acara pengajian, eh kita bela-belain datang karena pengen ngeliat si doi, bukan untuk nyimak pengajiannya itu sendiri. Yup, kurangi frekuensi pertemuan, apalagi kalau memang tidak perlu. Kalo sekadar untuk minjem buku catatan, ngapain minjem pada si doi, cari aja teman lain yang bisa kita pinjam bukunya. Lagipula, kalo kamu nggak sabaran, khawatir ada pandangan negatif dari si doi. Bisa-bisa kamu dicap sebagai ikhwan agresif atau akhwat yang genit. Zwing...zwing.. gubrak! Kedua, jangan ‘menggoda’ dengan gaya bicara dan penampilan yang gimanaa.. gitu. Jadi jangan saling memberi perhatian. Bisa-bisa diterjemahkan lain lho. Ati-ati deh. Firman Allah Swt. (yang artinya):”Jika kamu bertakwa, maka janganlah kamu terlalu lemah lembut (mengucapkan perkataan), nanti orang-orang yang dalam hatinya ragu ingin kepadamu. Dan berkatalah dengan perkataan yang baik. “ (QS. al-Ahzab [33]: 32) Ketiga, menutup aurat. Nggak salah neh? Kalo aktivis kan udah ngeh soal itu Bang? Bener. Harusnya memang begitu. Tapi, banyak juga yang belum tahu bagaimana cara mengenakan busana sesuai syariat. Akhwatnya masih pake kerudung gaul yang ‘cepak’ abis! (kalo yang bener kan ‘gondrong’. Maksudnya lebar gitu lho.). Iya, kerudungnya aja modis banget. Pake gaya dililit ke belakang, dan untung aja nggak ditarik lagi ke atas (gantung diri kalee..). Terus, bibirnya dipoles lipstik tebel-tebel. Bedakannya menor pula. Minyak wanginya? Bikin ikan sekolam teler! (apa hubungannya?) So, buat para akhwat, jangan tabarujj deh. Duh, kebayang banget lucunya kalo aktivis pengajian tabarujj alias tampil pol-polan dengan memamerkan kecantikannya. Allah Swt. berfirman: “...dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS al-Ahzab [33]: 33) Keempat, kurangi berhubungan. Mungkin ketemu langsung sih nggak, tapi komunikasi jalan terus tuh. Mulai dari sarana ‘tradisional’ macam surat via pos, sampe yang udah canggih macam via telepon, HP, dan juga internet. Wuih, ketemu langsung emang jarang, tapi kirim SMS dan nelponnya kuat. Apalagi kalo urusan chatting, pake ada jadwalnya segala. Udah gitu, kirim-kirim e-mail pula. Hmm... jadi tetep berhubungan kan? Emang sih bukan masuk kategori khalwat. Tapi itu bikin suasana hati makin nggak kondusif karena mikirin si dia aja. Nggak percaya? Don’t be tried! Jangan dicoba! Kelima, jaga hati. Ya, meski sesama aktivis Rohis, bisikan setan tetap berlaku. Bahkan sangat boleh jadi makin kuat komporannya. Itu sebabnya, kalo hatimu panas terus karena panah asmara itu, dinginkan hati dengan banyak mengingat Allah. Mengingat dosa-dosa yang udah kita lakukan ketika sholat dan membaca al-Quran. Firman Allah Swt.: “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati menjadi tenang.” (QS ar-Ra’du [13]: 28) Oke deh, kamu udah punya modal sekarang. Hati-hatilah dalam bergaul dengan teman satu pengajian. Jaga diri, kesucian, dan kehormatan kamu dan temanmu. Jangan nekat berbuat maksiat. Kalo udah kebelet, (emangnya buang hajat?) segera menikah saja kalo emang udah mampu. Kalo belum mampu karena masih sekolah? Banyakin aktivitas bermanfaat dan seringlah berpuasa. Emang sih kalo pengen lebih mantap solusinya, kudu ada kerjasama semua pihak; individu, masyarakat dan juga negara. Hmm.. soal cinta juga urusan negara ya? Yup, negara wajib meredam dan memberantas faktor-faktor yang selalu ngomporin masyarakat untuk berbuat yang negatif. Jadi, jangan sampe ukhuwah kita berubah jadi demenan! Pokoknya, malu atuh kalo ngajinya getol, tapi pacaran juga puool. Catet yo![solihin: www.osolihin.wordpress.com] |
a. Islam Mengakui Rasa Cinta
Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.
“Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .”(QS. Ali Imran :14).
Khusus kepada wanita, Islam menganjurkan untuk mengejwantahkan rasa cinta itu dengan perlakuan yang baik, bijaksana, jujur, ramah dan yang paling penting dari semau itu adalah penuh dengan tanggung-jawab. Sehingga bila seseorang mencintai wanita, maka menjadi kewajibannya untuk memperlakukannya dengan cara yang paling baik.
Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang paling baik diantara kamu adalah orang yang paling baik terhadap pasangannya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istriku”.
b. Cinta Kepada Lain Jenis Hanya Ada Dalam Wujud Ikatan Formal
Namun dalam konsep Islam, cinta kepada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas. Sebelum adanya ikatan itu, maka pada hakikatnya bukan sebuah cinta, melainkan nafsu syahwat dan ketertarikan sesaat.
Sebab cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak.
Bahkan lebih ‘keren’nya, ucapan janji itu tidaklah ditujukan kepada pasangan, melainkan kepada ayah kandung wanita itu. Maka seorang laki-laki yang bertanggung-jawab akan berikrar dan melakukan ikatan untuk menjadikan wanita itu sebagai orang yang menjadi pendamping hidupnya, mencukupi seluruh kebutuhan hidupnya dan menjadi `pelindung` dan ‘pengayomnya`. Bahkan `mengambil alih` kepemimpinannya dari bahu sang ayah ke atas bahunya.
Dengan ikatan itu, jadilah seorang laki-laki itu `the real gentleman`. Karena dia telah menjadi suami dari seorang wnaita. Dan hanya ikatan inilah yang bisa memastikan apakah seorang laki-laki itu betul serorang gentlemen atau sekedar kelas laki-laki iseng tanpa nyali. Beraninya hanya menikmati sensasi seksual, tapi tidak siap menjadi the real man.
Dalam Islam, hanya hubungan suami istri sajalah yang membolehkan terjadinya kontak-kontak yang mengarah kepada birahi. Baik itu sentuhan, pegangan, cium dan juga seks. Sedangkan di luar nikah, Islam tidak pernah membenarkan semua itu. Kecuali memang ada hubungan `mahram` (keharaman untuk menikahi). Akhlaq ini sebenarnya bukan hanya monopoli agama Islam saja, tapi hampir semua agama mengharamkan perzinaan. Apalagi agama Kristen yang dulunya adalah agama Islam juga, namun karena terjadi penyimpangan besar sampai masalah sendi yang paling pokok, akhirnya tidak pernah terdengar kejelasan agama ini mengharamkan zina dan perbuatan yang menyerampet kesana.
Sedangkan pemandangan yang lihat dimana ada orang Islam yang melakukan praktek pacaran dengan pegang-pegangan, ini menunjukkan bahwa umumnya manusia memang telah terlalu jauh dari agama. Karena praktek itu bukan hanya terjadi pada masyarakat Islam yang nota bene masih sangat kental dengan keaslian agamanya, tapi masyakat dunia ini memang benar-benar telah dilanda degradasi agama.
Barat yang mayoritas nasrani justru merupakan sumber dari hedonisme dan permisifisme ini. Sehingga kalau pemandangan buruk itu terjadi juga pada sebagian pemuda-pemudi Islam, tentu kita tidak melihat dari satu sudut pandang saja. Tapi lihatlah bahwa kemerosotan moral ini juga terjadi pada agama lain, bahkan justru lebih parah.
c. Pacaran Bukan Cinta
Melihat kecenderungan aktifitas pasangan muda yang berpacaran, sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan bahwa pacaran itu adalah media untuk saling mencinta satu sama lain. Sebab sebuah cinta sejati tidak berentu sebuah perkenalan singkat, misalnya dengan bertemu di suatu kesempatan tertentu lalu saling bertelepon, tukar menukar SMS, chatting dan diteruskan dengan janji bertemua langsung.
Semua bentuk aktifitas itu sebenarnya bukanlah aktifitas cinta, sebab yang terjadi adalah kencan dan bersenang-senang. Sama sekali tidak ada ikatan formal yang resmi dan diakui. Juga tidak ada ikatan tanggung-jawab antara mereka. Bahkan tidak ada ketentuan tentang kesetiaan dan seterusnya.
Padahal cinta itu memiliki, tanggung-jawab, ikatan syah dan sebuah harga kesetiaan. Dalam format pacaran, semua instrumen itu tidak terdapat, sehingga jelas sekali bahwa pacaran itu sangat berbeda dengan cinta.
d. Pacaran Bukanlah Penjajakan / Perkenalan
Bahkan kalau pun pacaran itu dianggap sebagai sarana untuk saling melakukan penjajakan, perkenalan atau mencari titik temu antara kedua calon suami istri, bukanlah anggapan yang benar. Sebab penjajagan itu tidak adil dan kurang memberikan gambaran sesungguhnya dari data yang diperlukan dalam sebuah persiapan pernikahan.
Dalam format mencari pasangan hidup, Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang apa saja yang perlu diperhitungkan. Misalnya sabda Rasulullah SAW tentang 4 kriteria yang terkenal itu.
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW berdabda,”Wanita itu dinikahi karena 4 hal : [1] hartanya, [2] keturunannya, [3] kecantikannya dan [4] agamanya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat. (HR. Bukhari Kitabun Nikah Bab Al-Akfa’ fiddin nomor 4700, Muslim Kitabur-Radha’ Bab Istihbabu Nikah zatid-diin nomor 2661)
Selain keempat kriteria itu, Islam membenarkan bila ketika seorang memilih pasangan hidup untuk mengetahui hal-hal yang tersembunyi yang tidak mungkin diceritakan langsung oleh yang bersangkutan. Maka dalam masalah ini, peran orang tua atau pihak keluarga menjadi sangat penting.
Inilah proses yang dikenal dalam Islam sebaga ta’aruf. Jauh lebih bermanfaat dan objektif ketimbang kencan berduaan. Sebab kecenderungan pasangan yang sedang kencan adalah menampilkan sisi-sisi terbaiknya saja. Terbukti dengan mereka mengenakan pakaian yang terbaik, bermake-up, berparfum dan mencari tempat-tempat yang indah dalam kencan. Padahal nantinya dalam berumah tangga tidak lagi demikian kondisinya.
Istri tidak selalu dalam kondisi bermake-up, tidak setiap saat berbusana terbaik dan juga lebih sering bertemua dengan suaminya dalam keadaan tanpa parfum. Bahkan rumah yang mereka tempati itu bukanlah tempat-tempat indah mereka dulu kunjungi sebelumnya. Setelah menikah mereka akan menjalani hari-hari biasa yang kondisinya jauh dari suasana romantis saat pacaran.
Maka kesan indah saat pacaran itu tidak akan ada terus menerus di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dengan demikian, pacaran bukanlah sebuah penjajakan yang jujur, sebaliknya sebuah penyesatan dan pengelabuhan.
Dan tidak heran kita dapati pasangan yang cukup lama berpacaran, namun segera mengurus perceraian belum lama setelah pernikahan terjadi. Padahal mereka pacaran bertahun-tahun dan membina rumah tangga dalam hitungan hari. Pacaran bukanlah perkenalan melainkan ajang kencan saja.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Pusat Konsultasi syariah